Friday, January 11, 2013

Pemulihan Wilayah Mangrove



Dahuri (2002) dalam Bogarestu (2011) menyatakan bahwa Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya.
Hampir sama dengan kondisi Indonesia pada umumnya, kondisi hutan mangrove di Sumatera Barat juga sedang mengalami degradasi. Berdasar data Ditjen RRL (1999) dalam Bogarestu (2011), total luas hutan mangrove di Sumatera Barat 51.915,14 ha. Di daratan Sumatera Barat, hutan mangrove yang terletak dalam kawasan hutan 6.060,98 ha dan di luar kawasan hutan 13.253,76 ha, sedangkan sisanya terletak di Kepulauan Mentawai 32.600,00 ha. Dari luasan hutan mangrove yang berada di daratan Sumatera Barat tersebut hanya 4,7% (909,82 ha) yang kondisinya baik, sementara 95,3% (18.404,92 ha) dalam keadaan rusak (Tabel 1)


Ada berbagai kemungkinan terjadinya penurunan wilayah mangrove
a. regenerasi secara alami berhasil
b. regenerasi  secara alami gagal
                Apabila regenerasi secara alami berhasil maka hasilnya adalah wilayah mangrove pulih dan nilai-nilai keberhasilan dan fungsional tersebut meliputi monitoring dan nilai potensi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, monitoring dan pengembangan nilai vegetasi dan suksesi floristic, monitoring dan factor dan proses nilai-nilai lingkungan.
Apabila regenerasi  secara alami gagal dilakukan beberapa langkah untuk menanganinya yaitu
1.   Mengerti akan ekologi dan autoekologi dari spesies mangrove
2.   Mengerti resim hidrologis yang tepat
3.   Menilai factor-faktor yang menghambat suksesi
4.   Menyurvei kebutuhan hidup pemakai, tradisi, persepsi, kebutuhan, dan alternative (untuk pemanfaatan yang berkelanjutan)
5.   Menentukan wilayah pemulihan atau restorasi berdasarkan langkah-langkah sebelumnya
6.   Memulihkan hidrologis dan menghilangkan semua halangan untuk mencapai regenerasi secara alami
7. Jika hal tersebut berhasil memulihan atau menolong regenerasi secara natural maka akan tercipta suatu wilayah mangrove yang pulih
8.  Jika gagal untuk memulihkan atau menolong regenerasi secara alami maka harus dilakukan upaya selanjutnya yaitu memilih spesies, populasi, dan individu yang tepat untuk ditanam
9. Setelah memilih spesies lalu mangrove ditanam dan ketika berhasil maka nilai-nilai keberhasilan dan fungsional akan tercapai
10. Apabila nilai negative yang timbul maka harus memberikan rekomendasi untuk meningkatkan manajemen wilayah mangrove sehingga nilai-nilai keberhasilan dan fungsional dapat tercapai
11.  Nilai-nilai keberhasilan dan fungsional tersebut meliputi monitoring dan nilai potensi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, monitoring dan pengembangan nilai vegetasi dan suksesi floristic, monitoring dan factor dan proses nilai-nilai lingkungan.
Upaya konservasi yang dilakukan juga meliputi restorasi yang dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami dan diusahakan sekecil mungkin adanya campur tangan manusia dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami manusia. Akan tetapi, upaya restorasi sedikit kurang efektif sehingga dibantu dengan adanya penanaman. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk meningkatkan produktivitas mangrove tanpa merusak keberadaannya dapat dikembangkan budi daya system silvo-fishery misalnya untuk pematangan atau penggemukan kepiting bakau, pentokolan benur windu, pendederan nener bandeng, dan pembesaran nila merah. Di perairan sungai di kawasan mangrove dapat dijadikan lahan budi daya ikan dengan sistem karamba apung terutama untuk ikan kakap, kerapu lumpur, nila merah, dan bandeng.
                Upaya Konservasi lainnya adalah dengan mengetahui dan mempelajari fungsi dari mangrove itu sendiri serta memanfaatkannya dengan bijak.
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.
                Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam.
                Daerah dataran lumpur (intertidal mud flat) yang terdapat di sebelah luar mangrove dan langsung menghadap ke laut merupakan habitat berbagai komunitas nekton dan jumlahnya sangat melimpah. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari produksi primer dan sekunder yang tinggi serta adanya impor bahan organik dari laut dan mangrove. Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur merupakan spesies estuarin, yaitu ikan manyung (Osteogeneiosus militaris), ikan keting (Arius caelatus), ikan sembilang (Plotosus canius), ikan belanak (Liza argentez), ikan gulameh (Pennahia argentata), ikan tiga waja (Protonibea diacanthus), ikan teri (Stolephorus macroleptus), dan ikan cucut (Hemiscyllium indicum).
Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) dalam BRPBAP (2004) menyarankan hanya 20% saja dari lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan.
Menurut Rahmawaty (2006) Pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energy gelombang tsunami. Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m. Hasil penelitian yang berupa pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut  menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung.
Dalam pemulihan wilayah mangrove juga diperlukan rekomendasi peningkatan wilayah mangrove dan adanya kolaborasi dengan berbagai pihak terkait. Bogrestu (2011) menyatakan bahwa Kolaborasi berbagai pihak dalam mewujudkan pelestarian mangrove ini sangat penting mengingat sumberdaya ini sangatlah potensial untuk mengurangi dampak dari pemanasan global yang terjadi. Adapun aktor-aktor yang akan menjadi stakeholder dalam pelaksanaan upaya ini antara lain: pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan baik dari pusat sampai tingkat wilayah, serta Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah. Oleh karena mangrove merupakan sumberdaya alam yang berada di wiliyah pesisir sehingga kolaborasi dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan sangat diperlukan agar tidak terjadi policy dispute (tumpang tindih kebijakan). Kebijakan rehabilitasi mangrove telah dirintis oleh Kementrian Kehutanan dalam P.03/MENHUT-V/2004.

No comments:

Post a Comment