Dahuri (2002) dalam
Bogarestu (2011) menyatakan bahwa Luas penyebaran mangrove terus mengalami
penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta
hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993.
Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan
mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut
disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan
sebagainya.
Hampir sama
dengan kondisi Indonesia pada umumnya, kondisi hutan mangrove di Sumatera Barat
juga sedang mengalami degradasi. Berdasar data Ditjen RRL (1999) dalam
Bogarestu (2011), total luas hutan mangrove di Sumatera Barat 51.915,14 ha. Di
daratan Sumatera Barat, hutan mangrove yang terletak dalam kawasan hutan
6.060,98 ha dan di luar kawasan hutan 13.253,76 ha, sedangkan sisanya terletak
di Kepulauan Mentawai 32.600,00 ha. Dari luasan hutan mangrove yang berada di
daratan Sumatera Barat tersebut hanya 4,7% (909,82 ha) yang kondisinya baik,
sementara 95,3% (18.404,92 ha) dalam keadaan rusak (Tabel 1)
Ada berbagai kemungkinan terjadinya penurunan wilayah
mangrove
a. regenerasi secara alami berhasil
b. regenerasi
secara alami gagal
Apabila
regenerasi secara alami berhasil maka hasilnya adalah wilayah mangrove pulih
dan nilai-nilai keberhasilan dan fungsional tersebut meliputi monitoring dan
nilai potensi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, monitoring dan pengembangan
nilai vegetasi dan suksesi floristic, monitoring dan factor dan proses
nilai-nilai lingkungan.
Apabila regenerasi secara alami gagal dilakukan beberapa langkah
untuk menanganinya yaitu
1. Mengerti akan ekologi dan autoekologi dari
spesies mangrove
2. Mengerti resim hidrologis yang tepat
3. Menilai factor-faktor yang menghambat suksesi
4. Menyurvei kebutuhan hidup pemakai, tradisi,
persepsi, kebutuhan, dan alternative (untuk pemanfaatan yang berkelanjutan)
5. Menentukan wilayah pemulihan atau restorasi
berdasarkan langkah-langkah sebelumnya
6. Memulihkan hidrologis dan menghilangkan semua
halangan untuk mencapai regenerasi secara alami
7. Jika hal tersebut berhasil memulihan atau
menolong regenerasi secara natural maka akan tercipta suatu wilayah mangrove yang
pulih
8. Jika gagal untuk memulihkan atau menolong
regenerasi secara alami maka harus dilakukan upaya selanjutnya yaitu memilih
spesies, populasi, dan individu yang tepat untuk ditanam
9. Setelah memilih spesies lalu mangrove ditanam
dan ketika berhasil maka nilai-nilai keberhasilan dan fungsional akan tercapai
10. Apabila nilai negative yang timbul maka harus
memberikan rekomendasi untuk meningkatkan manajemen wilayah mangrove sehingga
nilai-nilai keberhasilan dan fungsional dapat tercapai
11. Nilai-nilai keberhasilan dan fungsional tersebut
meliputi monitoring dan nilai potensi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan,
monitoring dan pengembangan nilai vegetasi dan suksesi floristic, monitoring
dan factor dan proses nilai-nilai lingkungan.
Upaya
konservasi yang dilakukan juga meliputi restorasi yang dipahami sebagai usaha
mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami dan
diusahakan sekecil mungkin adanya campur tangan manusia dalam memaksakan
keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami
manusia. Akan tetapi, upaya restorasi sedikit kurang efektif sehingga dibantu
dengan adanya penanaman. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai dengan
tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Untuk meningkatkan produktivitas mangrove tanpa merusak keberadaannya dapat
dikembangkan budi daya system silvo-fishery misalnya untuk pematangan
atau penggemukan kepiting bakau, pentokolan benur windu, pendederan nener
bandeng, dan pembesaran nila merah. Di perairan sungai di kawasan mangrove
dapat dijadikan lahan budi daya ikan dengan sistem karamba apung terutama untuk
ikan kakap, kerapu lumpur, nila merah, dan bandeng.
Upaya Konservasi lainnya adalah dengan mengetahui dan
mempelajari fungsi dari mangrove itu sendiri serta memanfaatkannya dengan
bijak.
Mangrove
mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai
agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah
terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar.
Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting
untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan
nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta
sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar
(kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan
obat-obatan.
Beberapa
jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R.
apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat
digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat
digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus
illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes. Budidaya lebah madu juga
dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat
menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang
masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam.
Daerah dataran lumpur (intertidal mud flat) yang
terdapat di sebelah luar mangrove dan langsung menghadap ke laut merupakan
habitat berbagai komunitas nekton dan jumlahnya sangat melimpah. Hal ini
menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari
produksi primer dan sekunder yang tinggi serta adanya impor bahan organik dari
laut dan mangrove. Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur
merupakan spesies estuarin, yaitu ikan manyung (Osteogeneiosus militaris), ikan
keting (Arius caelatus), ikan sembilang (Plotosus canius), ikan
belanak (Liza argentez), ikan gulameh (Pennahia argentata), ikan
tiga waja (Protonibea diacanthus), ikan teri (Stolephorus
macroleptus), dan ikan cucut (Hemiscyllium indicum).
Mangrove
mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer
perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan.
Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan
oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh
berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama
membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai
jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat
penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional.
Ahmad dan Mangampa (2000) dalam BRPBAP (2004) menyarankan hanya 20% saja dari
lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan.
Menurut
Rahmawaty (2006) Pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif
baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30
pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energy
gelombang tsunami. Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi
dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh
hutan mangrove menjadi 0,73 m. Hasil penelitian yang berupa pengujian model di
laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.)
memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan
dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil
tersebut menunjukkan bahwa keberadaan
mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang
menerjang pantai. Vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi
gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis
satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis
besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang,
kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia,
amphibia, mamalia, dan burung.
Dalam pemulihan wilayah mangrove juga diperlukan
rekomendasi peningkatan wilayah mangrove dan adanya kolaborasi dengan berbagai
pihak terkait. Bogrestu (2011) menyatakan bahwa Kolaborasi berbagai pihak dalam
mewujudkan pelestarian mangrove ini sangat penting mengingat sumberdaya ini
sangatlah potensial untuk mengurangi dampak dari pemanasan global yang terjadi.
Adapun aktor-aktor yang akan menjadi stakeholder
dalam pelaksanaan upaya ini antara lain: pemerintah dalam hal ini Kementrian
Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan baik dari pusat sampai tingkat
wilayah, serta Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah. Oleh karena mangrove
merupakan sumberdaya alam yang berada di wiliyah pesisir sehingga kolaborasi
dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan sangat
diperlukan agar tidak terjadi policy
dispute (tumpang tindih kebijakan). Kebijakan rehabilitasi mangrove telah
dirintis oleh Kementrian Kehutanan dalam P.03/MENHUT-V/2004.